khenzo alvaro
Jumat, 07 Agustus 2015
Sabtu, 01 Agustus 2015
Islam Itu Indah
Islam Itu Indah
Menjalani Semuah Perintah Nya
Menjauhi Larangan Nya..
Tidak Susah Untuk Kita Menjalaninya
Yang terpenting kita Ikhlas menjalaninya
Jumat, 13 Februari 2015
ISRA’ MI’RAJ ( TAFSIR QS. AL - ISRA’ / 17 : 1 )
ISRA’
MI’RAJ
( TAFSIR QS. AL - ISRA’ / 17 : 1 )
I.
Surat
Al-Isra’/17 : 1
سُبۡحَٰنَ
ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ
ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ
هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١
II.
Terjemahan Surat Al-Isra’/17 : 1
Maha
suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda - tanda (kebesaran)
kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[1]
III.
Tafsir
Mufrodat
Mufrodat (kata-kata kunci) Qs Al-Isra’/17 : 1
Ø Maha Suci :
Ø Telah memperjalankan :
Ø Hambanya :
Ø Suatu malam :
Ø Masjid al-Haram :
Ø Masjid al-Aqsa :
Ø Dia Maha Mendengar Maha Melihat :
IV.
Penafsiran
Beberapa Mufasir
a.
Al-Maraghi
Menurut Al-Maraghi diawal ayat al-isra’ kata subhana
yang mengandung makna pensucian dan ketakjuban kepada Allah SWT kata ini
biasanya digunakan berkenaan dengan hal-hal besar dan luar biasa seandainya
beliau berisra’ hanya dengan ruh nya saja tanpa disertai dengan jasadnya, maka
hal itu tak obahnya dengan perjalanan mimpi dan tentunya kejadian isra’ tidak
dipandang sebagai peristiwa yang luar biasa karena ia hanya sebuah mimpi.
Kata asra yang berarti perjalanan, yang
mengandung makna Peristiwa perjalanan Nabi pada malam isra’ dan mi’raj sesuai
dengan namanya terdiri atas dua tahap perjalanan, tahap I, bermula dari
masjidil haram di mekah menujuh masjidil aqsha di palestina. Tahap II, dari
masjidil aqsha di palestina naik ke sidratul muntaha di langit dunia. Hanya
saja ayat ini hanya membicarakan soal perjalanan isra’ saja. Dalam ayat tidak
disinggung soal mi’raj atau naiknya Nabi ke langit. Meskipun demikian, ini
bukan berarti perjalanan mi’raj tersebut tidak ada atau tidak terjadi, atau itu
hanyalah cerita yang sengaja dikarang-karang oleh orang-orang terdahulu. Tetapi
pada waktu berlangsungnya isra’ pada malam itu pula Nabi Muhammad mengalami
mi’raj.
Dalam penafsiran al-maraghi pada ujung ayat yang
artinya sesungguhnya dia adalah maha mendengar lagi maha mengetahui menjelaskan
bahwa sesungguhnya orang yang telah memperjalankan hambaNya maha mendengar apa
saja perkataan kaum musyrikin Mekkah tentang perjalanan malam Nabi SAW dari
mekkah ke baitul mqdis, dan maha mendengar apa saja yang mereka kerjakan, tidak
satupun perkara yang mereka rahasiakan tersembunyi dariNya, tidak satupun
dilangit dan dibumi yang luput dari penglihatanNya. IlmuNya meliputi segala
sesuatu dan mengetahui jumlahnya. Dia mengawasi gerak-gerik hambaNya dan
membalas mereka sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.[2]
b.
Quraish Shihab
Menurut Quraish shihab menafsirkan ayat pertama
menyatakan : Maha suci dengan kesucian
yang maha sempurna, Allah yang telah mengisra’kan yakni memperjalankan pada
waktu malam hamba-Nya yakni Nabi Muhammad saw. Pada suatu malam dari al-masjidil
al-haram yang berada di mekah ke al-masjidil al-Aqsha yakni tempat sujud
terjauh ketika itu di daerah palestina yang telah kami berkati sekitarnya agar
Kami perlihatkan kepadanya dalam perjalanan malam itu dengan mata kepala atau
mata hatinya sebagian dari ayat-ayat kami yakni tanda-tanda kebesaran dan
kekuasaan kami. Sesungguhnya Dia yakni
Allah SWT. Yang telah mengisra’kan itu adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Pengunaan kata Subhana alladzi asra’ bi’abdihi/Maha
suci yang telah mengisra’kan hambaNya tanpa menyebut nama Allah tetapi menyebut
perbuatannya yakni mengisra’kan.
Kata subhana menunjukkan keheranan atau
keajaiban sesuatu yang mengisyaratkan peristiwa isra’nya Nabi Muhammad Saw
adalah suatu peristiwa yang menakjubkan dan mengherankan.
Kata asra’ yakni perjalanan malam yang
mengandung makna bahwa perjalanan malam yang dimaksud dilakukan oleh Allah
terhadap hambaNya yaitu Nabi Muhammad saw, perjalanan isra’ tersebut terjadi
dibawah bimbingan Allah SWT dan TaufikNya secara terus menerus bahkan disertai
oleh Nya. Perjalanan Nabi Muhammad bukanlah atas kehendak beliau dan tidak juga
terjadi atas dasar kemampuan pribadi beliau tetapi itu atas kehendak Allah SWT
bahkan dia yang mengisra’kan yakni yang melakukan perjalanan itu untuk beliau.
Dari awal ayat ini mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa tersebut harus
dikaitkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah SWT.
Kata abdihi biasa diterjemahkan hambaNya yaitu
Allah menunjukkan kepada Nabi Muhammad Saw karena mahluk yang paling wajar lagi
sempurna ibadah dan pengabdiannya kepada Allah SWT.
Kata lailan atau malam menurut ulama kata
ini mengandung makna sedikit bahwa perjalanan malam itu tidak berlangsung
sepanjang malam tetapi hanya beberapa saat dan berlangsung singkat. Dan juga
mengandung makna bahwa peristiwa itu terjadi diwaktu malam, waktu dimana orang
tidur, dan perjalanan tersebut bukanlah dengan jasad tetapi berupa mimpi atau
dengan jiwa beliau.
Kata al-masjidil al-haram yang artinya
masjid yang agung dan dihormati atau tempat sujud yang agung dan dihormati atau
tempat shalat pada masa Nabi Muhammad Saw. Sedangkan kata al-aqsha bermakna yang
terjauh yang dimaksud adalah tempat sujud yang terjauh yaitu Bait al-maqdis di
palestina atau masjid yang terjauh yaitu di langit ketujuh. Dari kata
al-masjidil haram dan al-masjidil aqsha dapat diartikan bahwa perjalanan isra’
dan akhirnya yakni antara dua masjid hal tersebut mengisyaratkan bahwa
perjalanan hidup manusia menuju Allah SWT hendaknya bermula dari masjid yakni
kepatuhan kepada Allah SWT dan berakhir pula dengan masjid yakni kepatuhan
kepadaNya dan menjadikan perjalanan isra’ dari masjidil haram ke masjidil aqsha
dan kembali lagi ke masjidil haram untuk mengisyaratkan bahwa islam adalah
ajaran tauhid.[3]
c.
Hamka
Menurut hamka ayat ini diawali dengan kata subhana,
yang berarti maha suci Allah atau kebesaran Allah. Allah memulai ayat ini
dengan kata subhana dengan maksud sengaja menisbahkan langsung peristiwa itu
kepada dirinya hal ini menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan rekayasa dari
Allah dan terjadi atas kehendakNya, hal tersebut juga ditegaskan oleh kata asra’
yang berarti berjalan diwaktu malam dan kata abdihi berarti dia
(hambaNya) sehingga menjadi asra’ bi’abdihi dan diterjemahkan (dia) telah
memperjalankan hambaNya”. Dari kata asra’ dapat dipahami bahwa perjalanan isra’
itu terjadi dibawah bimbingan Allah dan taufikNya. Penggunaan kata ini tidak
saja menjadikan Nabi diisra’kan lalu dilepas begitu saja, tetapi isra’
dilakukan beliau bahwa bimbingan Allah secara terus menerus, bahkan ‘disertai’
olehNya.
Oleh karena itu peristiwa isra’ dan mi’raj harus
ditimbang dari perspektif kebesaran Allah, dan alat ukurnya adalah kemampuan
dan kekuasaan Allah bukan kemampuan manusia. Kekuasaan dan kemampuan manusia
sangat terbatas, sementara kekuasaan dan kemampuan tiada batasnya. Sedangkan
dari kata abdihi dapat dipahami bahwa Allah menyebutkan dalam ayat ini guna
menjaga kemurnian akidah yang menjadi pokok pendirian umat muslim. Betapapun
luar biasanya peristiwa isra’ dan mi’raj namun Nabi Muhammad tetap pada kedudukkannya
yaitu abdihi beliau tetap hamba Allah betapapun hebatnya peristiwa itu tidak
lantas membuatnya beralih status menjadi tuhan.[4]
ANALISIS
Dari analisis
kami Perjalanan isra’ dan mi’raj menegaskan bahwasanya
Rasulullah Saw, mengalami masa kesulitan dalam perjalanan.
Dari analisis
kami Rasulullah Saw mengalami perjalanan malam yang penuh rintangan demi
mempertahankan hari kemenangan isra’ dan mi’raj. Setelah itu kisah perjalanan
Nabi Saw, menuju lokasi masjid yang berada di palestina.
Dari analisis
kami tujuan dari isra’ dan mi’raj di sebutkan dalam ayat untuk membuktikan
kebesaran dan keagungan Allah SWT. Dari sisi Nabi Muhammad Saw pengalaman
tersebut menjadi peneguh dan penguat semangat untuk motivasi penyampaian
risalah umat Islam semua.
KESIMPULAN
Demikian
uraian untuk memahami peristiwa Isra dan
Mi’raj berdasarkan QS:al-Isra’ ayat 1 dapat diambil
kesimpulan berikut:
1
Isra’ dan mi’raj adalah
perjalanan yang luar biasa menuju tempat yang sangat jauh dari waktu
yang sangat singkat, yang terjadi atas kehendak Allah serta berada dalam kendali dan bimbingan Allah SWT.
2
Perjalanan malam hari
yang luar biasa ini mencakup dua jenis
perjalanan, tidak
hanya perjalanan Isra’ dari Masjid al-Haram di Mekkah ke masjid al-aqsa di
Baitul Maqsha ke Sidratul Muntha
3
Tujuan utama dari
Isra’ dan mi’raj sebagaimana di sebutkan
dalam ayat adalah untuk
membuktikan kebesaran dan keagungan Allah
Dari sisi Nabi Muhammad, pengalaman tersebut
menjadi peneguh dan penguat semangat,
jiwa dan motivasi Nabi untuk menjalankan tugas menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia
4
Isra’ dan Mi’raj
bukanlah perjalanan di waktu tidur atau mimpi. Melainkan perjalanan malam ini di lakukan
beliau secara utuh dengan roh dan jasadnya.
DAFTAR PUSTAKA
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 2007, Jakarta: Lentera
Hati
Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pilihan, 2003, Jakarta:
PT. Grasindo Persada
“
M A K A L A H ”
ISRA MI’RAJ
(TAFSIR QS.
AL-ISRA’/17:1)
Disusun Oleh
:
KELOMPOK 9
1. HERAWATI
2. JUNIARSEH
3. YUYUN TRIHASTUTI
PROGRAM STUDI EKONOMI PERBANKAN ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI ( STAIN ) CURUP
2011/2012
MAKALAH ILMU KALAM
BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan
Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islamyang didakwahkan
oleh Nabi Muhammad yaitu persoalan
aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syariat,
sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode
ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.Berbicara masalah
aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang IlmuKalam. Ilmu kalam jugadiartikan sebagai teologi
Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak
mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam.Perbedaan yang pertama
muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik.
Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu,meningkat
menjadi persoalan teologi.
Perbedaan
teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat dikemukakan dalam
bentuk teoritis, perbedaan itudemikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran
kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa
perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan
keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, paramalaikat, hari akhir dan berbagai
ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya.
Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia,kedudukan wahyu dan akal,
keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran,
yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah sertaaliran-aliran
lainnya.Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Qadariyah. Dalam makalah
ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran
Qadariyah.Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan
ajaran-ajarannya secara umum.
BAB
II
PEMBAHASAN
ALIRAN
QADARIYAH
A.
Latar belakang lahirnya Aliran qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etimologi,
berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bermakna kemampuan dan kekuatan.
Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah, aliran-aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatanya, manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua
perbuatan, yakni baik dan buruk.[1]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak
dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetapi
menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh ma’bad al-jauhani dan Ghilan ad-dimasyqi sekitar
tahun 70 H/689M 2
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama kristen, kemudian masuk
Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga
pendapat Muhammad Ibnu syu’ib. sementara W. Montgomery watt menemukan dokumen
lain yang menyatakan bahwa paham qadariyah terdapat dalam kitab ar-risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.3
Ditinjau dari segi politik kehadiran
mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu
kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaannya selalu mendapat tekanan, bahkan
pada zaman Abdul Malik Bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap
tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.4
B. Munculnya
Aliran Qadariyah
Bid’ah al-Qadariyah muncul pada
masa akhir masa sahabat. Al-lalikai berkata kalimat kaum muslimin masih bersatu
dan jamaah tetap utuh pada masa awal sahabat dan setelah mereka dari Salafus
Shalih hingga al-Qadariyah muncul dengan suara dan ucapan yang tidak dikenal
mengenai qadar pada awal masa pemerintahan Marwaniyyyah (Bani Marwan). Mereka
berbicara mengenai qadar hingga Abdullah bin Umar ditanya, lalu ia meriwayatkan
dari Nabi tentang penetapan qadar dan keimanan kepadanya serta ia
memperingatkan dari menyelisihnya. Ibnu Umar salah seorang yang berbicara
mengenai masalah ini atau meyakininya, berlepas diri dari perkataan
al-qadariyah dan mereka juga berlepas diri darinya.[2]
Konon pertama kali bid’ah ini
terjadi di Hijaz. Ketika ka’bah terbakar, seorang lelaki berkata, “ Ka’bah
terbakar karena takdir Allah” sementara yang lain mengatakan, “Allah tidak
menakdirkan hal ini” Sementara pada masa Khulafaur Rasyidin tidak ada seorang
pun yang mengingkari takdir. Kebanyakan mereka pada saat itu tinggal di Bashrah
dan Syam serta sedikit dari mereka yang tinggal di hijaz, hingga banyak
perkataan salaf yang mencela Qadariyah.
C. Sekte
– sekte Qadariyah dan Julukan Mereka
Al-Qadariyah an-Nufah (al-Qadariyah
yang menafikan qadar) ialah orang-orang yang mengingkari qadar atau sebagainya.
Merka adalah al-Ma’badiyah, al-Ghailaniyah dan al-Mu’tazilah.
Al-Jabariyah, yaitu orang-orang
yang menyangka bahwa manusia tidak memiliki pilihan sama sekali mereka adalah
al-Jahmiyyah.
D. Sejumlah
Keyakinan al-Qadariyah, Manhaj dan Ciri-ciri Mereka
Aqidah qadariyah adalah campuran
dari aqidah Mu’tazilah, jahmiyah, Asy’ariyah dan orang-orang yang menempuh
jalan mereka yang bisa dirangkum sbb:
•
Mengingkari ilmu Allah yang dahulu, mengingkari catatan Allah terhadap takdir,
kehendak, penciptaan dan ketentuan-Nya atau sebagiannya ini adalah keyakinan
al-Ma’badiyah, al-Ghailaniyah dan Mu’tazilah.
•
Berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri, ini adalah
keyakinan Mu’tazilah.
•
Berpendapat bahwa manusia dipaksa dalam perbuatannya secara mutlak dan
menafikan kemampuan dari hamba, ini adalah keyakina Jahmiyah dan sebagian ahli
tasawuf.
•
Mengingkari hikmah dan sebab dari perbuatan Allah, ini adalah perkataan ahli
kalam dari kalangan Asy’ariyah
•
Mengingkari keterpautan perbuatan Allah dengan
Masyiah (kehendaknya), ini adalah pendapat ahli kalamdari kalangan
Asy’ariyah
•
Berpendapat tentang wajibnya melakukan hal yang paling bermaslahat bagi Allah,
sebagaimana persangkaan Mu’tazilah.
E. Perbedaan
Aqidah Ahlus Sunnah dengan Aqidah al-Qadariyah
Syaikhul Islam Taimiyah berkata:
Para salaf dan imam sebagaiman mereka sepakat atas wajibnya beriman kepada
takdir dan bahwa apa yang dikehendaki Allah terjadi dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi, dan bahwa Dia Pencipta segala sesuatu
berupa perbuatan hamba dan selainnya, mereka juga sepakat untuk menetapkan
perintah dan larangan-Nya, janji dan ancaman, serta bahwa seseorang tidak
memiliki hujjah di hadapan Allah dalam meninggalkan perintah dan mengerjakan
larangan. Mereka juga sepakat bahwa Allah adalah Mahabijaksana Lagi Maha
Penyayang, dan bahwa Dia sebaik-baiknya hakim dan sebaik-baik Penyayang
diantara penyayang.
Jahm bin Shafwan dan para
pengikutnya mengingkari hikmah dan rahmat Allah. Menurut mereka dalam perbuatan
dan perintah Allah tidak ada Lam”Kay”(agar). Allah tidak melakukan sesuatu dan
tidak memerintahkan sesuatu untuk sesuatu.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah
berkata tentang iman kepada qadar disertai kegigihan untuk melakukan
sebab-sebab (usaha dan ikhtiar) karena itu sebagian dari mereka mengatakan
berpaling pada sebab adalah syirik dalam bertauhid, dan menghilangkan sebab
adalah kurang akal.
Menolak sebab secara keseluruhan
adalah suatu yang tercela dalam syariat,dan sekedar sebab semata, begitu juga
perkara di akhirat bukan hanya sekadar dengan amalan manusia meraih
kebahagiaan. Bahkan itu hanyalah sebab belaka.
Ini adalah ba’as-sabab artinya
dengan sebab amal kalian artinya amalan itu bukanlah alat tukar atau harga yang
memadai untuyk masuk surga, tapi harus disertai dengan ampunan Allah, karunia
dan rahmat-Nya. Dengan rahmatNya Dia memberikan Pahala dan dengan karunia-Nya
dia melipatgandakan keberkahan.
Dalam masalah ini ada dua kelompok
yang tersesat:
1. Kelompok
pertama, beriman kepada qadar dan mengira bahwa itu sudah cukup untuk mencapi
tujuan, sehingga mereka menolak sebab-sebab Syar’iyyah dan amal-amal shalih.
Bahkan perkara tersebut membawa mereka kepada kekafiran terhadap kitab-kitab
Allah, para Rasul dan agama-Nya.
2. Kelompok
kedua, Menuntut pahala dari Allah mereka bergantung pada daya, kekuatan dan
amal mereka.
Syaikhul Islam juga berkata: Barang
siapa berpaling dari perintah dan larangan, janji dan ancaman karena memandang
takdir maka ia telah sesat. Kita beribadah karena Allah dan memohon pertolongan
kepada-Nya karena beriman kepada Qadar dan Nabi memerintahkan orang Mukmin pada
dua perkara:
Pertama, menginginkan apa yang
bermanfaat baginya ialah menjalankan perintah, atau ibadah yaitu menaati Allah
dan RasulNya.
Kedua, meminta pertolongan kepada
Allah yang mencakup iman kepada qadar bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali
dengan izin-Nya dan apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan apa yang
tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.
Barang siapa menyangka bahwa ia
menaati Allah dengan tanpa pertolongan dari-Nya seperti persangkaan Qadariyah
maka ia telah mengingkari Qudrah Allah yang sempurna, sebaliknya barang siapa
menyangka bahwa ia diberi pertolongan atas apa yang ia inginkan dan diberi
kemudahan, maka itu terpuji baik keinginan itu sejalan dengan syarat maupun
menyelisinya maka ia telah mengingkari agama Allah dan mendustakan kitab-kitab,
rasul-rasul, janji dan ancaman-Nya dan ia pantas mendapatkan murka dan
siksa-Nya lebih berat daripada yang didapat golongan yang pertama.
F.
Ajaran-ajaran
Qadariyah
1. Bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan
baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh
karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang di lakukannya dan
juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran
kebaikan disini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran
siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan
pribadinya sendiri, Karena itu sangat
pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan
tindakannya.5
2. Adanya
Faham takdir , yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan
terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang
telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah
ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,
sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.6
Secara alamiah sesungguhnya manusia
telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya
tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti hukum alam.7
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada
alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka
gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu
diantaranya:
a. Qs al-khafi : 29
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%Ï#uß 4 bÎ)ur (#qèVÉótGó¡o (#qèO$tóã &ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 [ø©Î/ Ü>#u¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ
“ Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu: maka
barang siapa yang ingin (beriman) hendakla ia beriman, dan barang siapa yang
ingin (kafir) biarla ia kafir”. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka . itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek.” 8
b. QS
Ali Imran : 165
!$£Js9urr&
Nä3÷Gu;»|¹r&
×pt7ÅÁB
ôs%
Läêö6|¹r&
$pkön=÷VÏiB
÷Läêù=è%
4¯Tr&
#x»yd
( ö@è%
uqèd
ô`ÏB
ÏYÏã
öNä3Å¡àÿRr&
3 ¨bÎ)
©!$#
4n?tã
Èe@ä.
&äóÓx«
ÖÏs%
ÇÊÏÎÈ
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa
musibah (paa peperangan uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali
lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata:”Darimana
datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah:”Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”9
c. QS
an-Nisa: 111
`tBur ó=Å¡õ3t $VJøOÎ) $yJ¯RÎ*sù ¼çmç7Å¡õ3t 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR 4 tb%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÊÈ
“Barang
siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudhratan) dirinya sendiri, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”10
.
Aliran ini merupakan aliran yang suka
mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits
sendiri. Alquran dan hadist mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata.
Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab
logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang
serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang
harus tunduk kepada Alquran dan hadist, bukan sebaliknya.11
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad
Al-Juhari dan Ghailan al-Dimasyqi. Kedua tokoh ini mempersoalkan tentang Qadar.
Pokok-pokok ajaran-ajaran Qadariyah menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, pokok-pokok ajaran
Qadariyah adalah :
1. Orang
yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan
orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
2. Allah
SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusialah yang
menciptakannya dan karena itula maka manusia akan menerima pembalasan baik
(surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa neraka)
atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allah
berhak disebut adil.
3. Kaum
Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam hati bahwa Allah
tidak memiliki sifat-sifat azali, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan
melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu
mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat dengan zatnya sendiri.
4. Kaum
Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab katanya segala
sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.12
G.
Perkembangan Qadariyah
Aliran qadariyah termasuk yang cukup
cepat berkembang dan mendapat dukungan cukup luas di kalangan masyarakat,
sebelum akhirnya pemimpinnya, Ma’bad dan beberapa tokohnya, berhasil ditangkap
dan dihukum mati oleh penguasa Dasyiq pada tahun 80 H/699 M, karena menyebarkan
ajaran sesat. Sejak terbunuhnya pentolan Qadariyah tersebut, aliran Qadariyah
mulai pudar, sehingga akhirnya sirna dimakan zaman dan kini tinggal sebuah nama
yang tertulis didalam buku. Namun, sebagai pahamnya masih dianut oleh sebagian
orang.13
Banyak sekali faidah yang dapat dipetik
dari pembicaraan seputar sejarah perpecahan umat. Berbagaiu peristiwa yang
terjadi diawal Islam tersebut sarat dengan ibrah(pelajaran). Tentunya kami
tidak mampu menyuguhkan sejarah perpecahan itu secara terperinci, akan tetapi
ada beberapa point yang dapat kita jadikan pelajaran. Sembari meluruskan
beberapa persepsi keliru sebagian orang sekitar masalah tersebut dimasa ini.14
Pertama.
Sumbu perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah berupa I’tiqad dan pemikiran
yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang pertama kali di dengar oleh
kaum muslimin dan para sahabat adalah aqidah Saba’iyah yang merupakan cikal
bakal aqidah Syi’ah dan Khawarij. Itulah benih awal perpecahan yang ditaburkan
di tengah-tengah kaum muslimin. 15
Kedua.
Ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita
temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang terjadi diantara
mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma’
(kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama’ah serta tetap
komitmen terhadap imam. Itulah yang terjadi dikalangan sahabat.16
H.
Ciri
– ciri Faham Qadariyah
Ciri-ciri paham Qadariyah adalah
sebagai berikut:
1. Manusia berkuasa penuh untuk
menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatandan nasib manusia itu
dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa adacampur tangan
Allah SWT.
2. Iman adalah pengetahuan dan
pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhiiman. Artinya, orang berbuat
dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya
3. Orang yang sudah beriman tidak perlu
tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal kebajikan lainnya.17
I. Refleksi
Faham Qadariyah dan Jabariyah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan
dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara
yang tidak memiliki sedikitpun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan
dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab,
bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan allah.
Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya manusia digambarkan
sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Peda perkembangannya selanjutnya paham Jabariyah
disebut juga juga sebagai paham tradisional dan konserfatif dalam Islam dan
paham Qadariyah disebut sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua
paham teologi Islam tersebut melandaskan diri diatas dalil-dalil naqli (agama)
sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (al-qur'an dan hadist) dan
aqli (argument fikiran). Di negeri-negeri kaum muslimin seperti indonesia yang
dominan adalah paham Jabariyah. Orang muslim yang berpaham Qadariyah merupakan
kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.[1]
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa
yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia misalnya kecelakaan pesawat
terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa
kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan allah. Sedang yang berpaham
Qadariyah condong mencari tahu dimana letak peran manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham
Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa
dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh allah. Sedang pada paham Qadariyah
semangat investigasi amat besar kaena semua peristiwa yang berkaitan dengan
perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui investgasi.
Dengan demikian dalam paham Qadariyah selain manusia
dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus
bertanggungjawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat
didalam paham Jabariyah, akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu ilmu
pengetahuan pasti berkembang didalam paham Qadariyah ketimabang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai
kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang paham Jabariyah sudah cukup bila
tindakan membantu korban dan memetik hikamt sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan
dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang
berpaham Qadariyah meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk
perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab: adakah andil
manusia didalam mengganggu ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam marah
dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu paham Qadariyah membenarkan suatu
investigasi (pencaritahuan) misalnya dengan memotret lewat satelit yang dilanda
musibah.
Perlu diperhatikan bahwa disini kami menggunakan
istilah Qadariyah untuk orang-orang yang mendukung aliran kebebasan kehendak
manusia demi mengikuti istilah yang dikenal dikalangan para ahli teologi Islam
seperti yang pada ghalibnya dimaksudkan dalam kebanyakan riwayat. Padahal kata
Qadariyah ini kadang-kadang juga digunakan oleh sebagian ahli ilmu kalam dan
pada sebagian riwayat guna menunjuk kepada kaum Jabariyah yang tidak mengakui
kebebasan kehendak manusia.
BAB
III
PENUTUP
A.
Analisis
Menurut pendapat kami bahwa kata qudrah dan iradah
itu hanya dimiliki oleh Allah SWT saja dan bukan manusia yang memilikinya.
Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan
iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut dan pendapat mereka tentang orang yang sudah
beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan idabah dan amal-amal kebajikan.
B.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan
bahwa :
1. Qadariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Allah, aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
2. Manusia
mempunyai kemampuan berkehendak atau memilih dan berkuasa penuh untuk menetukan
nasib dan perbuatannya.
3. Amal
perbuatan tidak mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak
mempengaruhi keimanannya dan orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa
menjalankan ibadah dan amal-amal
kebajikan.
DAFTAR PUSTAKA
Rida, Safni, Dra. M.Pd.I, Ilmu Kalam, (Rejang Lebong: LP2 STAIN, 2010), cet ke-1
Masudi dan Abd. Rahman,
Metodologi Studi Islam, (Rejang
Lebong: LP2 STAIN, 2010),
cet ke-1
Langganan:
Postingan (Atom)